Rabu, 18 November 2009

OPTIMALISASI DALAM PEMBELAJARAN

BAB I

OPTIMALISASI DALAM PEMBELAJARAN'



Tiga dasa warsa antara tahun 1970-2000, usaha-usaha inovasi pembelajaran di Indonesia sangat intensif. Saat ini, inovasi pembelajaran berakar dari paradigma pembelajaran yang dimotori oleh filsafat onstruktivisme. Pandangan konstruktifis tentang belajar menurut Brophy dalam Sulton, (1997:1), dipengaruhi oleh pandangannya terhadap ilmu pengetahuan.

Konstruktifis memiliki dua pandangan dasar terhadap sifat ilmu pengetahuan. Pertama, empiricist-oriented constructivists, pandangan ini melihat ilmu pengetahuan berada pada lingkungan eksternal, serta keberadaannya tidak bergantung pada aktifitas kognitif siswa. Karena itu dalam pandangan Case yang dikutip oleh Brophy dalam Sulton (1997:1) menyarankan dalam pembelajaran hendaknya guru memberikan bantuan kepada siswa dalam membangun konsep-konsep yang akurat.

Kedua, radical constructivists, menyatakan bahwa ilmu pengetahuan terbentuk dalam struktur kognisi siswa. Oleh karena itu, Rumel Hart & Norman yang dikutip Brophy dalam Sulton, (1997:1) menyarankan bahwa dalam pembelajaran, guru dituntut untuk memberikan kesempatan pada siswa untuk membangun konsep yang akurat.

Sejalan dengan dua pandangan tersebut di atas dapat dikemukakan konsep belajar sebagai berikut. Pertama, belajar sebagai proses konstruksi, yaitu aktifitas siswa untuk membangun pengetahuan, representasi internal terhadap pengalaman. Pada tahun 1983, Resnick dalam penelitiannya merangkum bahwa seseorang yang belajar itu membentuk pengertian. Orang yang belajar tidak sekedar meniru atau mencerminkan yang diajarkan atau yang dibaca, melainkan secara aktif membentuk pengertian (Bettencour dalam Suparno, 1997:11). Interpretasi siswa terhadap lingkungan merupakan aktifitas yang penting untuk membentuk pengetahuan baru dalam diri kognisi siswa. Kedua, belajar merupakan suatu proses yang aktif dalam mengembangkan makna berdasarkan pengalaman. Ketiga, belajar merupakan interpertasi terhadap lingkungan melalui perbedaan struktur atau skemata sehingga merupakan pemaknaan baru (Brooks dalam Sulton, 1997:1).

Konstruktivis sebagai akar pembelajaran optimal bertolak dari pentingnya peranan aktif siswa dalam proses belajarnya. Dalam pada itu maka proses pembelajaran optimal, akan tampak pada optimasi keterlibatan mental emosional anak pada proses asimilasi dan akomodasi kognitif dalam pemerolehan pengetahuan melalui perbuatan serta pengalaman langsung dalam pembentukan keterampilan, dan penghayatan serta internalisasi nilai-nilai dalam pembentukan sikap dan nilai (Raka Joni; 1980).

Memandu terwujudnya proses pembelajaran optimal, pola dasarnya menggariskan terciptanya proses pembelajaran dengan menerapkan "innovatory knowledge" ( Pembentukan pengetahuan). Pengembangan keterampilan kognitif dalam proses belajar dengan penekanan pada terbentuknya pengertian dan penggunaan informasi untuk pemecahan masalah, dari pada perolehan informasinya itu sendiri. Siswa dalam proses belajarnya terarahkan untuk mengetahui dan menemukan pengetahuan melalui kegiatan analisis terhadap pengalaman belajarnya. Tujuan kegiatan belajar anak adalah berkembangnya kemampuan berpikir produktif dan kreatif. Oleh karena itu, peroleh dan pemilikan ilmu pengetahuan disikapi sebagai sarana bagi terjadinya proses berpikir produktif dan bukan sebagai tujuan belajar utama. (T. Raka Joni; 1980).

Peran guru di kelas sebagai implikasi dari proses pembelajaran optimal tersebut di atas, adalah sebagai fasilitator yang mampu mengembangkan kemampuan belajar anak. Sehubungan dengan itu, maka tugas guru yang utama adalah menyediakan kondisi belajar yang relevan yang memungkinkan terwujudnya aktivitas belajar anak dalam situasi yang wajar dengan penuh kegembiraan.

Kondisi belajar yang efektif sebagai wujud proses pembelajaran optimal, di susun dengan ketentuan sebagai berikut: (1) disusun dengan memberikan kesempatan pada anak untuk melakukan penemuan-penemuan sebagai wujud perolehan hasil belajarnya (2) mampu menuntun anak untuk mengolah perolehan hasil belajarnya sendiri, (3) memacu kemampuan mental, fisik, dan sosial anak sebagai penggerak tercapainya kemampuan-kemampuan berikutnya yang lebih tinggi, (4) memberikan kesempatan kepada anak untuk menunjukkan kreatifitas dan bertangung jawab terhadap kegiatan itu, (5) memberi kesempatan kepada anak untuk menetapkan kegiatan belajar sesuai dengan kecepatan masing-masing, (6) memberi kesempatan anak untuk mengembangan kegiatan belajar sesuai dengan minat dan perbedaan bakatnya, (7) memberi peluang terjadinya akselerasi belajar individual dengan tetap terbinanya sikap kebersamaan dalam proses pembelajaran.




1. OPTIMALISASI STRATEGI PEMBELAJARAN

Peningkatan Efektivitas Strategi Pembelajaran

Optimalisasi strategi pembelajaran akan tampak pada keefektifan proses pembelajaran yang dilaksakan guru. Berikut ini dikemukan beberapa faktor penentu kefektifan strategi pembelajaran meliputi : (1) struktur pembelajaran, (2) motivasi siswa, (3) efektasi guru, (4) pertanyaan-pertanyaan terhadap kelas.(5) memaksimalkan waktu, dan (6) pembelajaran konstruktivis


1. Struktur Pembelajaran

Selama tahun 1970-an dan 1980-an, Madeline Hunter (1982), Barak Rosenshine ( Rasenshine dan Stevens, 1986) dan para peneliti lainya mencoba untuk mengidentifikasi keefektifan tipe-tipe struktur pembelajaran. Meskipun berbeda-beda sebutan, mereka menyepakati struktur pembelajaran efektif pada dasarnya mencakup komponen : (1) pendahuluan pembelajaran, (2) penjelasan dan klarifikasi isi pembelajaran secara jelas, (3) monitoring terhadap pemahaman anak, (4) pemberian waktu untuk praktek/berlatih, (5) fase penyimpulan dan penutupan pembelajaran, (6) pendalaman secara terstruktur maupun mandiri dan review.

2. Motivasi anak

Motivasi mengimplikasi pada terbentuknya energi belajar pada diri anak. Review terhadap hasil-hasil penelitian terhadap motivasi belajar anak (brophy, 1987), sejumlah variabel motivasi anak meliputi (1) mengacukan belajar anak dengan interes/minat anak diluar sekolah, (2) menyesuaikan aktivitas belajar anak dengan kebutuhan anak, (3) kebaruan dan kebervariasian aktivitas belajar, (4) pengalaman sukses anak atas belajarnya, (5) tensi-tekanan yang mengarahkan tingginya kepedulian belajar anak, (6) atmosfir/iklim psikologis kelas yang kondusif untuk belajar, (7) monitoring terhadap kinerja anak, (8) belajar yang menantang (Levin dan F. Nolan; 1996:98-103).

3. Efektasi guru

Riset tahun 1970-an yang dilakukan oleh sejumlah peneliti seperti Thomas Good dan Jere Brophy terhadap perilaku guru ditemukan bahwa guru-guru kurang berpengharapan terhadap siswa-siswanya yang dipahaminya sebagai anak yang kurang cerdas. Dalam komunikasinya terhadap anak-anak yang dipahaminya kurang cerdas tersebut, guru-guru menampakan perilaku dinama mereka (1) kurang memberikan pertanyaan, (2) kalau toh memberikan pertanyaan , kurang memberi waktu anak untuk berfikir, (3) kurang memberikan arahan bila anak yang kurang cerdas tersebut mengalami kesukaran, (4) kurang memberikan reinforcement, (5) sering memberikan kritik, (6) menjauh terhadap anak baik fisik dan psikologis, (7) jarang berekspresi secara personal, (8) memarjinalkan anak atas pertanyaan anak, (9) sedikit sekali tersenyum terhadap anak kurang cerdas, (10) kurang kontak pandang terhadap anak kurang cerdas, dan (11) kurang memberikan masukan terhadap anak kurang cerdas(Levin dan F. Nolan; 1996:102-103). Hal-hal tersebut berlaku sebaliknya terhadap anak-anak yang dipahaminya sebagai anak yang cerdas.

Perlakuan yang buruk terhadap anak yang kurang cerdas tersebut, gilirannya memperngaruhi pula harapan anak terhadap dirinya sendiri, yang dampaknya dapat menumbuhkan perilaku belajar yang negatif seperti kurang berpengharapan terhadap diri sendiri, kurang produktif, serta kurang percaya diri untuk konfirmasi kepada guru. Perlakuan guru yang berat sebelah tersebut secara kumulatif akan memperparah ketertinggalan anak-anak yang kurang cerdas. Namun, apabila anak-anak yang kurang cerdas tersebut memperoleh perlakuan yang sama dengan mereka yang dipahami guru sebagai anak yang cerdas, maka prestasinya cenderung meningkat. Hal ini terbuktikan dalam riset bahwa guru-guru yang memberikan respon dan kesempatan, umpan balik dan partisipasinya, belajar anak cenderung meningkat cerdas (Levin dan F. Nolan; 1996:103). Kesimpulannya, ekspektasi guru terhadap anak, berpengaruh positif terhadap belajar anak.




4. Pertanyaan kelas

Diantara semua jenis metode atau teknik pembelajaran, pertanyaan merupakan metode atau teknik pembelajaran yang memiliki multi guna. Pertanyaan dapat digunakan untuk menilai kesiapan dan kematangan anak

Untuk mempelajari sesuatu topik, Dengan pertanyaan dapat digunakan untuk mengarahkan minat , motivasi dan perhatian anak, mengarahkan pembentukan konsep secara benar, untuk mendeteksi pemahaman anak, mengarahkan pemahaman anak atas batas-batas tugas-tugas yang perlu di kerjakan, membimbing perilaku positif dan keterlibatan anak dalam belajar.

Wilen (1986) dalam simpulan yang dikumpulkannya dari beberapa riset tentang penggunaan pertanyaan oleh guru di kelas menemukan bahwa pertanyaan kelas membantu meningkatkan belajar anak cerdas(Levin dan F. Nolan; 1996:104-105). Beberapa temuan penelitian penggunaan pertanyaan menunjukan berikut.

a. Pertanyaan yang diajukan dengan variasi tingkat berfikir dapat meningkatkan kemampuan berfikir kritis anak dan retensi yang lebih baik atas pengetahuan dasar anak ( Good dan Brophy, 1987).

b. Pertanyaan umumnya disampaikan kemudian ditunggu beberapa saat antara 3 atau 5 detik, kemudian guru baru menunjuk salah seorang anak.

c. Penelitian Brophy dan Good, (1986) menemukan bahwa penggunaan predictable order dalam seleksi anak untuk menjawab pertanyaan dari pada dengan cara random order hasilnya lebih efektif.

d. Penggunaan waktu berfikir antara 3 sampai 5 detik setelah pertanyaan disampaikan, diperlukan khusus hanya untuk pertanyaan tingkat tinggi yang jawabanya menuntut anak untuk membuat kesimpulan, hubungan dan penilaian.

e. Menggali beberapa jawaban anak keseluruh kelas, sebelum memberikan umpan balik.

f. Setelah anak menjawab pertanyaan, kemudian ditunggu beberapa saat antara 3-5 detik baru kemudian direspon, teknik ini cenderung dapat meningkatkan jumlah anak yang merespon pertanyaan, meningkatkan kualitas jawaban ( length of answers), meningkatkan interaksi antar anak, meningkatkan diversitas jawaban anak.

g. Menggunakan variasi penguatan positif dan membuat anak memahami secara jelas mengapa mereka memperoleh penguatan positif.

h. Memberikan pertanyaan tingkat lanjut misalnya dengan pertanyaan melacak yang dapat memperluas cakrawala berfikir anak, setelah siswa menjawab baik jawaban benar atau salah. Pertanyaan lanjut yang di maksud misalnya, (1) pertanyaan untuk klarifikasi jawaban, (2) pertanyaan untuk memikirkan kembali proses berfikir anak dalam menemukan jawaban, (3) pertanyaan yang dapat mendukung pernyataan anak, (4) pertanyaan untuk mengelaborasi jawaban, (5) pertanyaan yang mengarahkan anak untuk mengaitkan dengan jawaban atas pertanyaan sebelumnya.

5. Memaksimalkan Waktu belajar

Ada hubungan antara waktu yang diberikan untuk belajar dengan prestasi belajar yang dicapai anak (Lieberman.dan Denham, 1980). ). Seperti halnya para pendukung belajar tuntas, mereka berpendapat bahwa tingkat keberasilan siswa lebih banyak ditentukan oleh kesempatan belajar serta kualitas pembelajaran yang diperoleh siswa dari pada tingkat kecerdasan tradisional yang diyakini selama ini.

Carroll dalam Syamsudin (1983:84) berasumsi bahwa, jika setiap siswa diberi kesempatan belajar dengan waktu yang sesuai dengan yang dibutuhkan oleh masing-masing anak, maka mereka akan mampu mencapai tarap penguasaan yang sama. Oleh karena itu, tingkat penguasaan belajar merupakan fungsi dari proporsi jumlah waktu yang disediakan guru, dengan jumlah waktu yang diperlukan anak untuk belajar. Meskipun demikian, motivasi belajar, kemampuan memahamai pembelajaran dan kualitas pembelajaran merupakan faktor-faktor yang ikut berpengaruh terhadap kualitas penguasaan belajar.

Hal terpenting dari pemaksimalan waktu adalah pemanfaatan waktu untuk pelaksanaan tugas anak. Banyaknya alokasi waktu yang diberikan untuk suatu mata pelajaran, belum berarti apapun tanpa penggunaannya untuk aktivitas pembelajaran. Hasil riset menyatakan bahwa keberhasilan managemen termasuk kegiatan pembelajaran adalah kemampuan guru dalam memaksimalkan alokasi waktu untuk belajar akademik, menyelesaikan tugas-tugas meminimalkan penggunaan waktu untuk menunggu pelajaran, pergantian matapelajaran, jam kosong tanpa pelajaran ( Brophy,1988). Hasil riset mengisyaratkan untuk memanfaatkan alokasi waktu belajar, disarankan berikut (Levin dan F. Nolan; 1996:107).

a. Memanfaatkan waktu untuk interaksi substantive—model pembelajaran dimana guru menyajikan informasi—tanya jawab—melakukan unpan balik—memonitor kerja siswa—mendorong siswa belajar secara independent—belajar dalam kelompok kecil tanpa banyak intervensi guru.

b. Guru memonitor keseluruhan kelas selama pembelajaran dimulai hingga berakhirnya anak menyelesaikan tugas, selama aktivitas anak berlangsung guru mendorong dan mengarahkannya.

c. Meningkatkan pemahaman anak terhadap aktivitas apa yang mereka perlu lakukan, keterampilan yang perlu dikuasai agar mampu melaksanakan tugas dengan berhasil, mengarahkan anak untuk mencari sendiri semua bahan yang diperlukan dalam belajarnya, dan mengarahkan anak agar mampu mengendalikan diri untuk tidak berperilaku menyimpang selama penyelesaian tugas.

d. Memberikan pengarahan secara verbal-oral kepada anak agar memusatkan perhatian tentang bagaimana mengerjakan tugas dan bilamana pekerjaan selesai, serta mendayagunakan waktu sebaik mungkin untuk mengerjakan tugas.

e. Memahami perilaku anak yang tampak dan mengarahkannya untuk meningkatkan keterlibatan dan partisipasinyaan dalam mengerjakan tugas.

f. Menyediakan variasi kegiatan dengan acuan untuk mempertahankan perhatian anak terhadap tugas tanpa bayak interupsi atas kegiatan anak dalam kelompok kecil ( Evertson, 1989).


2. Implikasi Dalam Pembelajaran Optimal

Proses pembelajaran optimal akan berimplikasi terhadap perubahan peranan murid, perubahan peranan guru, pemanfaatan sumber-sumber belajar, penilaian dan pola interaksi-komunikasi proses pembelajaran.

1. Peranan anak dalam belajar

Ditinjau dari sudut psikologi proses pembelajaran optimal memerlukan perkembangan domain intelektual, kognitif, motivasi dan sosio afektif. Terjadinya keterkaitan di bidang intelektual dan kognitif, dimana pengetahuan dasar saat ini merupakan dasar (preriquisite) untuk mengembangkan kognitif tingkat yang lebih tinggi. Dalam kerangka itu, anak harus diperlengkapi dengan teknik-teknik untuk mendapatkan pengetahuan dan disadarkan akan sumber-sumber pengetahuan di luar guru dan sekolah. Dan yang lebih penting dari itu, mereka harus terampil untuk menggunakan pengetahuan untuk memecahkan masalah-masalah belajar.

Dalam rangka optimasi proses pembelajaran, anak harus mempunyai motivasi belajar yang tinggi. Anak harus mampu mengembangkan kemampuannya untuk belajar dalam berbagai teknik dan setting belajar. Anak harus dapat menemukan sendiri pengetahuannya dan mengolah pengetahuannya itu, dan dengan terampil dapat memanfaatkannya untuk memecahkan masalah.

Pembelajaran optimal mempersyaratkan Anak sudah dapat belajar dengan berbagai strategi dan setting, misalnya belajar perorangan, kelompok dan seterusnya. Anak telah mempunyai (1) ketrampilan belajar, seperti ketrampilan membaca, menulis, mengamati dan mendengarkan, komunikasi verbal dan non verbal, (2) ketrampilan dasar intelektual seperti mengadakan penalaran, berpikir kritis, dan menafsirkan data, (3) keterampilan menggunakan bermacam-macam alat belajar seperti, media cetak, media masa dan berbagai intruksional ma-terial, (4) kemampuan mengidentifikasi kebutuhan belajarnya.

Pendek kata untuk menunjang proses pembelajaran optimal, anak dituntut mempunyai hal-hal sebagai berikut, (1) kemampuan mendapatkan dan menggunakan informasi, (2) ketrampilan intelektual dan kognitif yang tinggi, (3) kemampuan belajar melalui berbagai strategi dan setting belajar, (4) kemampuan menilai hasil belajar sendiri, (5) memiliki motivasi belajar yang tinggi, (6) dimilikinya pemahaman diri sendiri.

Kegiatan belajar, perlu diarahkan kepada peningkatan cara belajar siswa aktif agar pembelajaran menjadi optimal. Melalui cara belajar aktif tersebut, anak dapat berkembang kemampuan dan keinginannya untuk belajar secara mandiri. Dengan CBSA anak mampu belajar dalam arti yang sebenarnya. Anak dapat memproses dan menggunakan pengetahuan sebagai dasar untuk mengembangkan kemampuan dalam berpikir kritis, kreatif dan penalaran yang tinggi.

Peningkatan kadar CBSA dalam kegiatan pembelajaran, berarti menuntut penggunaan strategi dan metode pembelajaran secara kaya dan beraneka ragam. Penerapan berbagai metode pembelajaran secara self directed learning (dapat mengarahkan dirinya sendiri untuk belajar) dan interlearning (belajar sesama teman).

Pembelajaran optimal menuntut anak untuk mengambil peran aktif dalam belajarnya. Pengambilan bagian secara aktif dalam kegiatan belajar terindikasikan oleh adanya keterlibatan mental, emosional anak disamping keterlibatan fisik. Keterlibatan mental intelektual dan emosional sekaligus berarti pembangkitan motivasi.

2. Peranan guru dalam proses pembelajaran optimal

Peranan guru dalam proses pembelajaran optimal memiliki berbagai bentuk sesuai dengan pengaruhnya terhadap sikap, struktur motivasi dan ketrampilan kognitif anak. Di dalam domain sikap, tugas guru membantu anak untuk mengambil sikap yang kreatif dalam proses pembelajaran. Membantu anak untuk berpikir kritis dalam menghadapi masalah-masalah agar dapat mengatasi secara efektif dan efisien.

Membantu anak untuk memperoleh pengalaman, menjadi peran guru dalam pembelajaran. Di bidang motivasi, tugas guru adalah membangkitkan anak dalam proses belajar dan membangkitkan keinginan anak untuk secara kontinyu mau belajar. Sedangkan dalam domain kognitif tugas guru adalah memperlengkapi kemampuan untuk belajar dalam memperoleh pengetahuan dan ketrampilan. Tugas ini dapat dikembangkan melalui pembinaan dalam mengenal dan menggunakan metode-metode ilmiah dan pembinaan untuk mengenal sumber-sumber belajar.

Peranan fundamental guru, utamanya dalam bidang kognitif yaitu meningkatkan kemampuan anak untuk menemukan pengetahuan baru menganalisa proses belajar anak. Untuk yang terakhir ini dikembangkan melalui pembelajaran dengan pendekatan ketrampilan proses. Dalam rangka memandu konsep belajar sepanjang hayat, guru hendaknya telah menjadi pelajar sepanjang hayat. Guru tidak pernah berhenti belajar. Sehingga tindakannya itu, menjadi contoh bagi anak-anak.

Peranan tradisional yang mengatakan guru sebagai penyalur pengetahuan dan sumber dari segala ilmu pengetahuan harus berubah. Guru lebih berperan sebagai fasilitator dalam kegiatan belajar anak. Guru sebagai fasilitator belajar anak, akan berfungsi sebagai manajer dalam setting belajar anak. Sebagai advisor, penasehat anak dalam meghadapi kesulitan. Sebagai observer, pengamat kegiatan anak. Dan sebagai evaluator, yang bertugas untuk mendeteksi kemajuan belajar anak. Guru tidak berperan sebagai "pemberi fakta" yaitu orang yang hanya menyampaikan pengetahuan kepada anak, tetapi membantu anak untuk mendiaknosis kebutuhan belajar, mengkoordinasikan anak dalam setting belajar yang tepat. Guru-guru menjadi penasehat (advizor) bagi anak-anak. Guru sebagai penasehat berarti harus mampu mendiaknosis kesulitan belajar anak sehingga dapat memberikan layanan belajar dengan tepat.

3. Penilaian Pembelajaran

Sebagai konsekuensi dari pembelajaran optimal, ada pada sistem penilaian. Penilaian tidak semata-mata diarahkan untuk mengukur hasil belajar saja. Penilaian kegiatan pembelajaran harus mencakup hasil dan proses belajar anak. Penilaian hasil maksudnya penilaian terhadap penguasaan pengetahuan anak. Sedang penilaian proses mengacu pada penilaian terhadap kualitas aktivitas belajar anak. Misalnya penilaian tentang sikap belajar, penilaian terhadap keterampilan proses (keterampilan mengamati, menggolongkan, menafsirkan, penelitian, dan keterampilan komunikasi).

4. Pemanfaatan sumber-sumber belajar

Proses pembelajaran optimal pada hakekatnya adalah penerapan proses pembelajaran yang dilandasi oleh prinsip CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Peningkatan kadar CBSA dalam kegiatan pembelajaran, menuntut penggunaan strategi dan metode pembelajaran secara beraneka ragam. Pemilihan dan penerapan strategi bertolak dari karateristik strategi yang memungkinkan adalah "self directed" dan "inter learning".

Selanjutnya, dalam rangka peningkatan Cara Belajar Siswa Aktif, anak-anak diharapkan telah mempunyai pengetahuan yang memadai; kenal akan berbagai ilmu pengetahuan dan ketrampilan. Anak-anak harus terampil menggunakan alat-alat belajar. Anak-anak mempunyai ketrampilan dasar pembelajaran, membaca, mengamati, mampu berkomunikasi dengan baik.

Dalam rangka Cara Belajar Siswa Aktif, kegiatan pembelajaran membiasakan anak untuk menggunakan berbagai sumber belajar, baik yang ada di dalam sekolah, maupun di luar sekolah. Yang dimaksud sumber belajar adalah segala sumber pesan, manusia, lingkungan dan teknik yang dapat digunakan oleh anak, baik sendiri maupun bersama-sama,untuk membantu belajarnya.

Ada dua macam sumber belajar yaitu: (1) sumber belajar yang memang dikembangkan dan disiapkan untuk membantu belajar, yang merupakan komponen sistem pembelajaran, biasa disebut "resources by design". (2) sumber belajar yang tidak secara khusus untuk pembelajaran, tapi dapat digunakan untuk belajar, yang biasa disebut "resources by utilization" (Suprihadi, 1993:9).

Penggunaan jenis sumber belajar tersebut mengisyaratkan, bahwa guru bukan satu-satunya sumber belajar. Dengan perancangan sumber belajar yang demikian itu akan membantu siswa untuk terbiasa belajar sendiri tanpa harus dibawah pengaruh otoritas guru. Anak diarahkan untuk mengembangkan kemampuan menggali berbagai sumber belajar di luar arahan guru, di luar buku paket dan bahkan di luar sekolah.

Implikasi dari proses belajar optimal adalah nara sumber dalam belajar anak bukan semata-mata guru. Atau bahkan konsep tentang guru diperluas. Dalam pengertian ini, yang disebut guru adalah semua orang yang dapat dijadikan nara sumber dalam kegiatan belajar anak . Tentu saja akan menjadi perdebatan sebab konsep guru yang sedemikian akan mengaburkan siapa guru yang sebenarnya. Apapun sebutannya, apakah nara sumber atau juga guru, yang jelas dalam prose pembelajaran murid harus dapat menfaatkan pengetahuan, pengalaman orang sumber di luar guru kelas atau guru bidang studi. Guru bukanlah satu-satunya sumber yang menguasai segalanya. Sehubungan dengan itu, dituntut kemampuan guru untuk mengkoordinasikan orang-orang sumber tersebut agar dapat membantu belajar anak. Orang-orang sumber yang dapat dikoordinasikan untuk membantu anak dalam belajar misalnya ahli pustakawan, perawat kesehatan, penjaga musium, dokter, ahli farmasi petani dll.

Perancangan penggunaan sumber pembelajaran di atas, menuntut kemampuan profesional guru. Banyak meminta pula, pemikiran matang guru, sehingga pemanfaatan sumber-sumber belajar tersebut dapat terkoordinasikan secara relevan dengan tujuan-tujuan belajar yang akan dicapai.

5. Interaksi-Komunikasi dalam Pembelajaran

Pembelajaran terwujud dalam bentuk interaksi timbal balik secara dinamis antara guru dengan siswa dan atau siswa dengan kondisionong belajarnya. Guru pada saat tertentu berposisi sebagai perangsang atau stimulasi yang memancing anak untuk bereaksi sebagai wujud aktivitasnya yang disebut belajar. Pada saat yang lain guru bereaksi atas aksi-aksi yang diperbuat anak. Interaksi diantara kedua belah pihak berjalan secara dinamis bertolak dari kondisi awal melalui titik-titik sepanjang garis kontinum hingga akhir kegiatan pembelajaran.

Interaksi dinamis guru-siswa dalam pembelajaran dapat terwujud dalam berbagai bentuk hubungan. Interaksi guru-murid dapat mengambil bentuk hubungan langsung, yakni interaksi secara tatap muka. Dalam bentuknya yang lain hubungan guru-siswa bersifat tidak langsung, yakni melalui perantaraan media pembelajaran seperti paket belajar, modul pembelajaran, penyelesaian tugas-tugas terstruktur, dan sejenisnya. Di samping itu interaksi guru-siswa terealisasi pula melalui hubungan yang bersifat campuran. Meskipun guru telah memanfaatkan media pembelajaran, tetapi guru tetap hadir dalam pembelajaran.

Pola arus interaksi guru-murid di kelas memiliki berbagai kemungkinan arus komunikasi. Sedikitnya menurut H.C Lindgren dalam Raka Joni (1980), ada empat pola arus komunikasi: (1) komunikasi guru-siswa searah, (2) komunikasi dua arah -- arus bolak-balik--, (3) komunikasi dua arah antara guru-siswa dan siswa-siswa, (4) komunikasi optimal total arah. Arus komunikasi dalam pembelajaran ada pula yang membedakan kedalam dua jenis, yakni one way traffic comunication dan two way traffic comunication.

Pengaturan materi interaksi, dapat dibedakan dalam beberapa bentuk pengaturan. Pengaturan materi dapat dibedakan menjadi tiga sifat, yakni implisit, eksplisit, dan implikatif. Pengaturan materi secara implisit yakni pengaturan materi yang bersifat terselubung. Makna (meaning) isi komunikasi tersirat dibalik yang tersurat. Sedangkan pengaturan secara eksplisit, bila mana makna isi komunikasi, tersurat secara lahiriah atau tekstual. Sementara pengaturan secara implikatif, yakni pengaturan materi komunikasi yang maknanya hanya dapat ditemukan dari apa yang tersorot oleh proses komunikasi tersebut.



3. Prinsip-prinsip Umum Pembelajaran Optimal

Ada beberapa prinsip pembelajaran yang perlu diperhatikan untuk membantu kemudahan belajar anak. Prinsip pembelajaran tersebut bertolak dari asumsi dasar (postulat) tentang hal-hal yang menjadi penentu kemudahan dan keberhasilan belajar anak. Prinsip-prinsip pembelajaran yang dimaksud, diantaranya adalah berikut ini.

1. Prinsip Motivasi Belajar

Keberhasilan belajar siswa bergantung pula pada derajat motivasi belajar yang dimilikinya. Siswa yang sukses dalam belajarnya, banyak didukung oleh derajat motivasi yang tinggi untuk berhasil. Sebaliknya, fasilitas belajar yang baik, cara guru mengajar yang optimal, kurikulum sekolah yang modern, lingkungan belajar yang kondusif dan seterusnya, tidak dengan sendirinya dapat menjamin kesuksesan belajar anak bilamana tidak dilandasi oleh motivasi belajar yang tinggi dari siswa itu sendiri. Oleh karena itu, motivasi belajar dari siswa memegang peranan penting bagi keberhasilan belajarnya.

Pentingnya peranan motivasi untuk mencapai keberhasilan belajar mengingatkan guru untuk mampu mendorong siswa agar memiliki motivasi yang tinggi dalam belajarnya. Oleh karena itu, dalam pembelajaran, mendorong timbulnya motivasi merupakan tugas guru yang tidak dapat dielakan. Untuk itu, guru dituntut agar memiliki kecermatan dalam memperhatikan kondisi motivasi belajar anak. Sehingga guru peka terhadap kondisi motivasi belajar anak-anak. Kepekaan guru itu sangat diperlukan mengingat dalam kurun waktu pembelajaran, motivasi belajar anak bersifat pasang surut. Berhubung demikian, maka sepanjang pembelajaran, guru dituntut untuk senantiasa mampu mempertahankan dan memperbaharui motivasi anak.

Derajat motivasi belajar anak dapat diamati dari perilaku belajar anak dikelas. Ada tiga aspek perilaku belajar siswa yang memperlihatkan adanya motivasi positif dalam belajarnya (Worell dan Stilwell, 1981: 282) . Pertama,adanya inisiasi aktivitas belajar anak, yang diperlihatkan oleh perilaku anak dengan indikator sebagai berikut: (1) anak menunjukkan minat dan keingintahuan yang tinggi, (2) tingginya perhatian anak terhadap pembelajaran yang disajikan, (3) mempunyai dorongan yang kuat untuk menyelesaikan sejumlah tugas dari guru.

Kedua, kuantitas dan kualitas usaha anak dalam upaya mencapai kesuksesan belajarnya. Hal ini tampak dari usaha anak untuk belajar keras, menggunakan waktu untuk belajar secara optimal, memanfaatkan waktu untuk belajar di perpustakaan, banyak membaca buku, melengkapi fasilitas belajarnya.

Ketiga, tingkat ketepatan dalam menyelesaikan tugas-tugas dari guru. Adanya motivasi positif dalam belajar, diperlihatkan anak dengan sikap senang untuk memecahkan masalah-masalah yang ditugaskan kepadanya dan meningkatnya partisipasi anak dalam penyelesaian tugas-tugas kelompok.

Motivasi menjadi sumber tenaga bagi perilaku belajar anak. Tanpa disertai motivasi yang kuat, anak tidak akan memiliki usaha yang kuat untuk beraktivitas belajar. Sebaliknya, dengan motivasi yang kuat, dapat mnjadi tenaga pendorong kuatnya usaha belajar siswa. Kuatnya motivasi tersebut, gilirannya dapat berpengaruh terhadap prestasi belajar yang dicapai anak ( Worell dan Stilwell, 1981:294).

Ada dua sumber motivasi yang dapat dijadikan landasan untuk memotivasi anak. Pertama, motivasi yang bersumber dari dalam diri anak, dan kedua, motivasi yang bersumber dari luar diri anak. Motivasi yang bersumber dari dalam menjadi kontrol internal bagi anak dalam mengelola perilaku belajarnya sendiri (self management of learning). Sedangkan motivasi yang bersumber dari luar (lingkungan anak), dapat diciptakan guru dengan menciptakan kondisi yang dapat menarik minat anak, misalnya dengan gaya mengajar yang antusias, memberikan balikan, dan memberikan reward or incentives (Worell dan Stilwell, 1981: 299).

2. Prinsip Keaktifan

Keaktifan belajar berarti keterlibatan intelektual dan emosional anak, disamping keterlibatan fisik dalam perilaku belajarnya. Pola keaktifan sebagaimana yang dimaksud, mengimplisitkan perlunya penerapan

Cara Belajar Siswa aktif dalam pembelajaran. Konsep Cara Belajar Siswa Aktif merupakan pengertian yang secara jelas telah menunjuk makna dan atau isi pengertiannya itu sendiri. Cara Belajar Siswa Aktif yaitu konsep yang menjelaskan peranan aktif siswa dalam proses belajar.

Dengan kata lain dapat dijelaskan bahwa cara belajar siswa aktif merupakan prinsip pembelajaran yang merangsang munculnya aktifitas siswa secara individual maupun berkelompok. Mengapa aktifitas siswa merupakan sorotan dalam pembelajaran? Kiranya dapat dipahami bahwa kebermaknaan hasil belajar (kualitas hasil belajar) sangat bergantung pada tingkat keaktifan siswa. Peranan aktif siswa dalam kegiatan pembelajaran memegang peranan yang amat penting. Dalam hal retensi hasil belajar ( apakah hasil belajar tahan lama dalam ingatan siswa), dipengaruhi oleh tingkat keaktifan belajarnya.

Di samping itu harus di sadari, bagaimanapun belajar dengan sendirinya terwujud dalam bentuk keaktifan siswa, walaupun tentu saja dengan derajad yang berbeda-beda. Keaktifan itu dapat berbentuk aneka ragam sepeti mendengarkan ceramah, berdiskusi, membuat paper, dan menulis laporan mengadakan simulasi. Keaktifan yang lebih penting bahkan sulit diamati misalnya menggunakan khasanah ilmu pengetahuan untuk memecahkan masalah dan menyusun percobaan. Dari berbagai keaktifan seperti telah disebutkan di atas, dapat dirangkum bahwa keaktifan-keaktifan kegiatan belajar tersebut, sebagaimana yang dikehendaki oleh prinsip CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), adalah keaktifan mental-intelektual dan keaktifan emosional siswa.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hakekat Cara Belajar Aktif menunjuk pada keterlibatan mental-intelektual siswa dan keterlibatan emosional siswa didalam kegiatan pembelajaran. Tentu saja, keaktifan-keaktifan intelektual dan emosional tersebut, aktualisasinya mempersyaratkan keterlibatan langsung dalam berbagai bentuk keaktifan fisik.

Keaktifan mental intelektual dan keaktifan emosional di samping ini juga keaktifan fisik dalam aktifitas pembelajaran, berkaitan dengan asimilasi dan akomodasi kognitif dalam pencapaian pengetahuan, serta penghayatan dan internalisasi nilai-nilai dalam pembetukan sikap dan nilai.

Rosji dan, dkk (1996:62) menyebutkan, untuk menciptakan keaktifan anak, kegiatan pembelajaran perlu memperhatikan berikut ini.

a. Tercipta situasi kelas yang memungkinkan siswa belajar dengan bebas dan tidak terancam, namun tetap terkendali.

b. Kecuali menunjukkan kerangka dasar, siswa lebih bersifat tut wuri handayani dalam proses pembelajaran.

c. Siswa dihadapkan dengan topik-topik yang problematis.

d. Tersedia sumber dan media belajar yang diperlukan siswa.

e. Diupayakan adanya pemanfaatan metode, teknik, dan media pembelajaran yang bervariasi namun tetap relevan dengan tujuan.

f. Proses belajar yang benar dipandang sam pentingnya dengan pemerolehan hasil yang benar.

g. Terjadi interaksi dan komunikasi multiarah antara guru dengan para siswa atau anak.

h. Ada sistem reward atau penghargaan yang dapat memuaskan dan meningkatkan motivasi siswa.

i. Ada kesempatan bagi siswa untuk memperoleh bantuan dan memecahkan masalah-masalahnya, baik akademik maupun pribadi.

3. Prinsip Pembelajaran Individual

Istilah pembelajaran individual mempunyai arti yang luas, bisa berarti setiap siswa diberi kebebasan untuk maju berdasarkan kemampuannya dan kecepatannya masi-masing. Ia juga bisa berarti setiap siswa diberi kesempatan memilih tujuan pembelajaran yang sesuai dengan minat dan kemampuannya masing-masing. Individual juga bisa berarti memberi kesempatan kepada siswa untuk memilih tujuan pembelajaran dan menunjukkan tingkat penguasaannya dalam berbagai cara (laporan, ujian tulis, ujian lisan, dan sebagainya). Namun demikian, dari berbagai bentuk pembelajaran yang di individual itu semuanya menunjuk kepada perhatian, bantuan dan perlakuan khusus ditujukan kepada orang yang tidak sama minat dan kemampuannya.

Perbedaan-perbedaan individual pada umumnya dapat dilihat antara lain berikut ini.

a. Perbedaan kematangan intelektual. Perbedaan ini ditengarahi oleh adanya perbedaan kemampuan intelektual anak. Beberapa anak lebih cepat untuk memhami konsep-konsep abstrak, sementara beberapa anak yang lain masih memerlukan kongkritisasi konsep.

b. Kemampuan berbahasa, beberapa siswa lebih mudah belajar bahan-bahan pelajaran yang bersifat verbal dan disajikan secara verbal pula.

c. Latar belakang pengalaman, beberapa siswa lebih mudah belajar bahan-bahan pelajaran yang ada hubungannya dengan pengalaman masa lalunya.

d. Cara/gaya belajar, beberapa siswa lebih mudah menyesuaikan diri dengan kegiatan-kegiatan pembelajaran dan alat-alat pembelajaran yang dipergunakan daripada siswa yang lain.

e. Bakat dan minat, beberapa siswa lebih bergairah dan tidak menemui kesulitan mengikuti beberapa mata pelajaran dibandung dengan teman-teman yang lain.

f. Kepribadian, ini menyebabkan siswa bebeda-beda reaksi dan tanggapannya terhadap tingkah laku/ sikap dan cara-cara guru mengajar. Perbedaan-perbedaan individual tersebut di atas (dan masih banyak lagi jenis-jenis perbedaan individual) menuntut perlunya pembelajaran yang diindividualisasikan.

4. Prinsip Belajar Tuntas

Belajar Tuntas (Matery Learning) atau belajar sebagai penguasaan (learning for mastery) adalah suatu falsafah tentang pembelajaran yang mengatakan bahwa dengan sistem pembelajaran yang tepat semua siswa akan dapat belajar dengan hasil yang baik dari seluruh bahan pelajaran yang di berikan di guru. Pandangan ini menolak pendapat yang mengatakan bahwa tingkat keberhasilan siswa lebih banyak ditentukan oleh tingkat kecerdasan anak (IQ).

Seperti telah disebutkan di atas, para pendukung strategi belajar tuntas berpendapat bahwa tingkat keberasilan siswa leih banyak ditentukan oleh kesempatan belajar serta kualitas pembelajaran yang diperoleh siswa daripada tingkat kecerdasan tradisional yang diyakini selama ini. Dijelaskan pula di atas, bahwa Carroll dalam Syamsudin (1983:84) berasumsi bahwa, jika setiap siswa diberi kesempatan belajar dengan waktu yang sesuai dengan yang dibutuhkan oleh masing-masing anak, maka mereka akan mampu mencapai tarap penguasaan yang sama. Oleh karena itu, tingkat penguasaan belajar merupakan fungsi dari proporsi jumlah waktu yang disediakan guru, dengan jumlah waktu yang diperlukan anak untuk belajar. Meskipun demikian, motivasi belajar, kemampuan memahamai pembela- jaran dan kualitas pembelajaran merupakan faktor-faktor yang ikut berpengaruh terhadap kualitas penguasaan belajar.

Maksud utama belajar tuntas ialah agar sebagaian besar siswa (75-100%) dapat mencapai tingkat Mastery (penguasaan bahan). Kecuali itu, belajar tuntas juga di maksudkan untuk efisiensi belajar, meningkatkan minat belajar dan membiasakan/melatih sikap dan cara-cara belajar yang benar.

Ada dua macam konsep belajar tuntas, yaitu (1) strategi belajar tuntas perorangan dan (2) strategi belajar tuntas kelompok. Namun demikian keduanya berusaha untuk mengembangkan setiap siswa sebaik-baiknya, yaitu dengan cara berikut.

a. Membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar.

b. Menyediakan waktu yang cukup unuk belajar.

c. Memberi kepastian kepada siswa mengenai bahan yang harus dipelajari, baik ruang lingkup maupun tingkat kesukarannya.


4. Kesimpulan

A.Peningkatan Efektivitas Strategi Pembelajaran

Faktor penentu kefektifan strategi pembelajaran meliputi : (1) Struktur pembelajaran, (2) Motivasi siswa, (3) Efektasi guru, (4) Pertanyaan-pertanyaan terhadap kelas.(5) memaksimalkan waktu, dan (6) Pembelajaran konstruktivis.

Struktur pembelajaran meliputi : pendahuluan, penjelasan dan klarifikasi isi materi, monitoring, praktek dan berlatih dan penutupan dan penjelasan. Guru yang memeberikan respon dan kesempatan, umpan balik dan partisipasinya akan mempengaruhi peningkatan kecerdasan anak. Sehingga ekspektasi guru terhadap anak berpengaruh positif terhadap kegiatan belajar anak.

Pertanyaan kelas dapat digunakan untuk memotivasi anak, mengarahkan minat dan eprhatian anak, mendeteksi pemahaman anak, mengarahkan anak atas batas-batas tu gas yang harus dikerjakan.

Kesempatan belajar yang diperoleh anak dalam kelas memepengaruhi perkembangan pemahaman dan kecerdasan anak. Sehingga kesempatan belajar dengan waktu yan sesuai pada masing-masing anak akan mencapai taraf pemahaman yang sama. Namun hal yang yang terpenting dalm pembelarajaran adalah pemnafaatan waktu untuk pelaksanaan tugas anak karena sebanyak apapun alokasi waktu yang diberikan ta akan berarti apapun tanpa aktivitas pembelajaran.


B. Pembelajaran Optimal

Proses pembelarjaran optimal akan berimplikasi pada perubahan peran anak, guru, pemanfaatan sumber belajar, penilaian dan pola interaksi komunikasi pembelajaran.

1. Peranan anak dalam belajar

Untuk menunjang proses pembelajaran optimal, anak dituntut mempunyai hal-hal sebagai berikut, (1) kemampuan mendapatkan dan menggunakan informasi, (2) ketrampilan intelektual dan kognitif yang tinggi, (3) kemampuan belajar melalui berbagai strategi dan setting belajar, (4) kemampuan menilai hasil belajar sendiri, (5) memiliki motivasi belajar yang tinggi, (6) dimilikinya pemahaman diri sendiri.

2.Peran guru dalam proses pembelajaran optimal

Peranan guru dalam proses pembelajaran optimal memiliki berbagai bentuk sesuai dengan pengaruhnya terhadap sikap, struktur motivasi dan ketrampilan kognitif anak.

3. Penilaian pembelajaran

Sebagai konsekuensi dari pembelajaran optimal, ada pada sistem penilaian. Penilaian tidak semata-mata diarahkan untuk mengukur hasil belajar saja. Penilaian kegiatan pembelajaran harus mencakup hasil dan proses belajar anak. Pemanfaatan sumber belajar.

Ada dua macam sumber belajar yaitu: (1) sumber belajar yang memang dikembangkan dan disiapkan untuk membantu belajar, yang merupakan komponen sistem pembelajaran, biasa disebut "resources by design". (2) sumber belajar yang tidak secara khusus untuk pembelajaran, tapi dapat digunakan untuk belajar, yang biasa disebut "resources by utilization" (Suprihadi, 1993:9)

4. Interaksi kominikasi dalam pembelajaran

Pembelajaran terwujud dalam bentuk interaksi timbal balik secara dinamis antara guru dengan siswa dan atau siswa dengan kondisionong belajarnya. Pola arus interaksi guru-murid di kelas memiliki berbagai kemungkinan arus komunikasi. Sedikitnya menurut H.C Lindgren dalam Raka Joni (1980), ada empat pola arus komunikasi: (1) komunikasi guru-siswa searah, (2) komunikasi dua arah -- arus bolak-balik--, (3) komunikasi dua arah antara guru-siswa dan siswa-siswa, (4) komunikasi optimal total arah.

Prinsip umum pembelajaran optimal


Ada beberapa prinsip yan perlu diperhatikan dalam membantu kemudahan belajar anak :

1. Prinsip motivasi

2. Prinsip keaktifan

3. Prinsip pembelajaran individual

4. Prinsip belajar tuntas

C. Saran

Untuk mencapai pembelajaran yang optimal maka kita harus memperhatikan segala aspek yang terkait dalam pembelajaran itu sendiri. Maka apabila kita ingin mengoptimalkan kegiatan pembelajaran maka setiap nelemen harus diperhatikan. Perlu adanya kerjasama dari setiap elemen seperti guru, siswa, sumber belajar dll karena hal ini sangat mempengaruhi terjadinya optimalisasi belajar.


D. Kritik

Pengoptimalan yang perlu kesiapan semua elemen ini menuntut adanya kerja keras, apabila satu elemen kurang optimal (kurang sesuai dengan standart yang ada) maka akan terjadi ketimpangan dalam arti hasil yang diharapkan tidak optimal.



















Tidak ada komentar:

Posting Komentar